Artikel

Multitasking, Kerjaan Beres atau Malah Berantakan?

Apakah kamu seorang multitasker yang terbiasa mengerjakan beberapa hal dalam waktu bersamaan? Misalnya, sambil makan, mata dan tangan tertuju ke layar laptop sambil mengecek e-mail yang masuk di gawai. Sementara telinga fokus mendengarkan teman kantor yang sedang berkoordinasi mengenai urusan pekerjaan? 

Melakukan beberapa hal dalam waktu bersamaan biasa disebut dengan multitasking dan saat ini menjadi satu hal yang sangat biasa dan lumrah dilakukan. 

Terlebih di saat pandemi, dimana kebanyakan orang terpaksa bekerja dari rumah guna menekan penyebaran virus Covid-19. Pekerjaan rumah dan pekerjaan kantor sering dikerjakan dalam waktu bersamaan. 

Bahkan bagi beberapa millennial, multitasking menjadi satu hal yang wajar mereka lakukan sehari-hari. Hal ini dibuktikan dari laporan Freelancers Union dan Upwork bahwa sebanyak 47 persen pekerja generasi milenial memilih bekerja di banyak tempat dalam satu waktu sebagai freelancer.

Selain dapat dikerjakan secara remote dan dapat mengerjakan beberapa project sekaligus, banyak dari mereka juga membuka usaha mereka sendiri. Tidak heran saat ini banyak bisnis online yang digagas oleh para kaum milenial. 

Mengapa Multitasking Sangat Digemari?

Bagi beberapa orang, dapat menjadi seorang multitasker adalah suatu kebanggaan karena dapat menyelesaikan banyak pekerjaan secara bersamaan. Seseorang yang dapat multitasking dianggap sebagai orang yang produktif. 

Bagi para milenial, yang cenderung butuh diakui, multitasking merupakan salah satu bentuk aktualisasi diri dan pembuktian diri mereka agar dapat dilihat dan dianggap sukses oleh orang lain. 

Kata “multitasking” pertama kali muncul di tahun 1965 yang digunakan sebagai istilah  dimana sebuah komputer dapat mengerjakan satu atau dua pekerjaan sekaligus. Kemudian kata “multitasking” ini digunakan untuk orang yang mengerjakan lebih dari satu pekerjaan sekaligus. Istilah ini masih terus dipakai hingga saat ini. 

Dilansir dari oxfordlearnersdictionaries, multitasking diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan beberapa hal dalam waktu bersamaan. Secara harfiah, multitasking dapat diartikan melakukan lebih dari satu kegiatan dalam satu waktu. 

Dave Crenshaw, penulis buku ‘The Myth of Multitasking: How “Doing It All” Gets Nothing Done‘ menyebutkan jika kebiasaan multitasking ini terbentuk karena budaya, di mana seseorang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang terbiasa mengerjakan beberapa hal dalam satu waktu. 

Contoh paling dekat dan pemandangan yang lumrah kita lihat di rumah sejak kecil, Ibu yang selalu terlihat sibuk di rumah. Memasak untuk sarapan seluruh anggota keluarga, sambil mencuci baju di mesin cuci dan tentunya sibuk menyiapkan keperluan sekolah anak. 

Ibu terlihat begitu hebat di mata anak karena tampak layaknya seorang pahlawan super yang dapat mengerjakan banyak hal sekaligus. Pemandangan seperti ini membuat multitasking menjadi satu hal yang patut dijadikan contoh dan akhirnya menjadi kebiasaan yang mengakar dalam diri seseorang. 

Manusia Tidak Diprogram sebagai Multitasker

Tapi, tahukah kamu kalau manusia itu tidak bisa mengerjakan lebih dari satu pekerjaan dalam satu waktu sekaligus? Bahkan perempuan yang sering disebut mampu mengerjakan banyak hal dalam satu waktu, sebenarnya tidak bisa untuk multitasking.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa manusia tidak dapat mengerjakan dua hal sekaligus. Yang terjadi sebenarnya pada seorang multitasker adalah mereka mengalihkan perhatian bolak-balik antara dua tugas dan menghasilkan kinerja yang buruk pada dua hal tersebut. 

Cyhthia Kubu, PhD, seorang neuropsikologis menyebutkan bahwa manusia diprogram sebagai seorang monotasker. Artinya otak manusia hanya bisa fokus mengerjakan satu pekerjaan dalam satu waktu. 

Sebuah penelitian di Universitas Utah menyebutkan bahwa 98 persen orang tidak mampu multitasking dan saat mengerjakan dua hal dalam satu waktu, keduanya tidak memberikan hasil yang baik. 

Multitasking: Harmful or Helpful?

Beberapa orang beranggapan bahwa multitasking membantu mereka untuk menyelesaikan banyak pekerjaan mereka dengan efisien dan cemas. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya.

Bahkan di dalam literatur psikologi, disebutkan bahwa multitasking tidak baik bagi manusia. Berikut beberapa dampak  buruk multitasking: 

  1. Multitasking dapat menghambat kinerja dan produktivitas

Sebuah studi menunjukkan saat otak manusia terus menerus beralih fokus pada satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya dalam satu waktu, khususnya saat pekerjaannya rumit dan membutuhkan perhatian khusus, kita cenderung akan lebih sering membuat kesalahan. 

Selain rentan membuat kesalahan, multitasking juga membuat kita membutuhkan waktu lebih lama dalam menyelesaikan pekerjaan dan memberikan hasil yang tidak memuaskan karena cenderung tidak dapat fokus memberikan yang terbaik di pekerjaan kita. 

Sebuah penelitian menemukan bahwa seorang mahasiswa yang multitasker membutuhkan banyak waktu untuk mengerjakan tugas mereka dan mendapatkan nilai yang rendah dibandingkan dengan mahasiswa yang mengerjakan tugas satu per satu. 

Dalam penelitian lainnya menunjukkan bahwa orang cenderung menjadi lebih lambat saat mengerjakan beberapa hal dalam satu waktu daripada saat mengerjakan satu hal dalam satu waktu bahkan menurunkan produktivitas sampai 40 persen. 

Terlalu banyak pekerjaan yang harus dikerjakan dalam satu waktu, membuat kita kehilangan fokus dan konsentrasi dan membuat kita membutuhkan waktu untuk kembali fokus pada pekerjaan yang lain. Mencoba mengingat sampai di mana pekerjaan kita yang sebelumnya dan menciptakan konsentrasi untuk memulai kembali pekerjaan tersebut. 

Misalnya, saat kita sedang makan siang sambil mengerjakan laporan bulanan, sementara telinga kita sibuk memperhatikan conference call. Begitu telinga selesai mendengarkan concall, dan melanjutkan laporan keuangan, biasanya kita tidak bisa langsung mengerjakan. Akan butuh waktu untuk kembali fokus dengan apa yang terakhir kita kerjakan dan apa yang selanjutnya akan kita lakukan. 

Hal diatas jelas sekali membuat kita membutuhkan waktu lebih lama dalam mengerjakan laporan bulan dan biasanya kita tidak dapat menangkap dengan jelas apa isi dari conference call tersebut. Laporan bulanan tidak selesai, hasil meeting pun banyak yang dilewatkan. 

Alih-alih selesai lebih cepat, pekerjaan malah berantakan. 

  1. Multitasking dapat mempengaruhi kesehatan mental 

Melakukan banyak hal dalam satu waktu dapat meningkat tingkat stress seseorang. Dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa kebiasaan multitasking cenderung membuat seseorang merasa lebih sering stress dan cemas.

Hal ini terjadi karena dengan multitasking, kualitas pekerjaan mereka rendah atau malah tidak kunjung selesai karena mereka tidak mampu fokus mengerjakannya secara bersamaan. 

Selain itu, dengan mengerjakan banyak hal sekaligus dapat meningkatkan emosi negatif yang membuat seseorang menjadi lebih mudah tersinggung atau menjadi tidak sabaran. 

Yang lebih parah lagi, rasa kecewa karena tidak mampu menyelesaikan banyak pekerjaan sekaligus atau tidak mampu memberikan hasil yang memuaskan, dapat mendorong seseorang menjadi depresi dan dipenuhi dengan kecemasan. 

  1. Multitasking dapat mempengaruhi kesehatan fisik 

Sebuah studi di tahun 2016 menyebutkan bahwa seorang multitasker dalam jangka waktu panjang menunjukkan kelemahan dalam memori kerja dan memori jangka panjang serta memiliki penurunan daya ingat.

Memori kerja adalah kemampuan untuk menyimpan informasi yang relevan saat mengerjakan pekerjaan. Sedangkan memori jangka panjang adalah kemampuan untuk menyimpan dan mengingat informasi dalam waktu yang lebih lama. 

Selain itu, dengan sering melakukan banyak hal sekaligus, hal ini dapat menguras tenaga dan otak kita. Jika dilakukan secara terus menerus, tubuh kita akan merasakan kelelahan yang berlebihan atau sering disebut burnout. 

Hal ini terjadi karena dengan mengerjakan banyak hal sekaligus memaksa otak kita untuk secara terus menerus mengalihkan fokus dari satu hal ke hal lainnya dalam waktu yang sangat cepat sehingga membuat tubuh dan otak mengeluarkan energi lebih banyak. 

Sehingga tubuh akan memberikan sinyal kepada kita dengan membuat kita ingin menambah asupan gula atau kafein ke dalam tubuh. 

Pernahkah kamu sedang sibuk sekali dan mengerjakan banyak pekerjaan lalu kamu merasa butuh kafein? Bisa jadi itu merupakan tanda bahwa tubuh dan otak kamu sedang burnout. 

Yang dibutuhkan tubuh saat mengalami burnout adalah istirahat, bukan kopi atau sweet tooth yang malah akan membuat satu permasalah baru: kecanduan gula. 

  1. Multitasking dapat mempengaruhi hubungan sosial

Selain dapat mempengaruhi kinerja dan kesehatan mental maupun fisik, ternyata multitasking dapat mempengaruhi hubungan kita dengan orang lain loh. Kok bisa?

Jika seseorang terbiasa mengerjakan hal lebih dari 1 dalam satu waktu, hal ini akan membuat kita terbiasa melakukannya dalam kehidupan sehari-hari bahkan saat bersama dengan orang lain. 

Misalnya, saat kita sedang makan bersama keluarga, sambil mendengarkan keluarga kita bercerita, tangan dan mata kita turut fokus dalam membalas pesan singkat atau scrolling di sosial media. Tentu hal ini akan membuat lawan bicara merasa tidak nyaman.

Selain membuat orang lain tidak nyaman, kebiasaan multitasking ini dapat membuat kita kehilangan momen berharga yang tidak akan terulang. Misalnya, disaat anak atau adik kita sedang ingin bercerita, namun ternyata selain mendengarkan ceritanya, kita juga sibuk membalas email. 

Padahal disaat anak mulai mau bercerita kepada orangtua, ini adalah momen penting untuk membangun bonding dan kepercayaan anak pada orang tua.  

Bye Multitasking! Hello, Monotasking!

Saat kita merasa multitasking berdampak buruk bagi hidup kita, sudah saatnya untuk melakukan perubahan dan meninggalkan kebiasaan multitasking agar kita dapat lebih produktif dan sehat. . 

Berikut beberapa tips untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam melakukan pekerjaan kita, diantaranya:

  1. Fokus melakukan satu hal dalam 1 waktu. Jika memang perlu melakukan beberapa hal dalam satu waktu, coba untuk kombinasikan dengan pekerjaan yang tidak membutuhkan banyak konsentrasi bagi kita. Misalnya, mendengarkan conference call sambil mencuci baju dengan mesin cuci yang tidak membutuhkan konsentrasi dalam mengerjakannya. 
  1. Gunakan “aturan 20 menit”. Daripada mengerjakan banyak hal dalam satu waktu,, cobalah untuk fokus dan berkonsentrasi pada satu tugas selama 20 menit. Baru setelah itu beralih ke pekerjaan lain. 
  1. Buat jadwal harian dan kelompokkan jenis pekerjaan yang sama. Jika kita kesulitan untuk menahan keinginan untuk memeriksa email atau melakukan tugas lain yang mengganggu, buat jadwal untuk seluruh tugas kita dalam 1 hari tersebut. Kelompokkan tugas yang sama dan atur waktu untuk mengerjakannya. Sehingga kita bisa membebaskan pikiran kita untuk fokus pada hal lain. 

Misalnya, kita memiliki jadwal untuk mengecek email di pkl 10.00 – 10.30, maka di jam tersebut kita benar-benar manfaatkan untuk mengecek seluruh email, mulai dari email pekerjaan sampai email pribadi. Diluar jam tersebut, kita tidak boleh mengerjakan kegiatan tersebut.

Atau buatlah journal setiap hari agar kita dapat lebih mengatur waktu dan kegiatan dalam hari itu.

  1. Jauhkan hal-hal yang dapat mengalihkan perhatian kita. Salah satu benda yang mampu membuat seseorang teralihkan perhatiannya adalah gawai. Ada baiknya saat kita fokus mengerjakan suatu pekerjaan, jauhkan gawai dari meja kita. Menunggu balasan pesan singkat dari kita selama 20-30 menit tentu tidak akan masalah bagi pengirim pesan. 

Bagi sebagian orang yang memiliki kemampuan untuk mengerjakan banyak hal sekaligus, tentu multitasking ini sangat membantu. Namun, kalau kamu merasa tidak dapat memberikan hasil terbaik dengan multitasking atau kamu merasakan kelelahan secara fisik dan mental, multitasking bukanlah jawaban yang cocok untuk kita.

Jadi, kamu termasuk tim yang mana? Multitasking atau monotasking?





sumber: psychologytoday.com, health.clevelandclinic.org, detik.com, halodoc.com, verywellmind.com, humanconnections.com.au,

TAGS
Tidak ada tags.