Artikel

Hustle Culture? Sudah Bukan Waktunya!

DARI SIDE HUSTLE KE HUSTLE CULTURE 

Pernah dengar istilah side hustle? Bagi sebagian millenial, tentunya sudah tidak asing lagi dengan istilah ini. Dilansir dari Elitedaily.com, side hustles adalah kesibukan sampingan yang dapat meningkatkan produktivitas dan kreativitas seseorang.

Berbeda dengan side job, dimana seseorang melakukannya untuk mendapatkan tambahan penghasilan, side hustle mengutamakan passion dalam melakukan kesibukan sampingan. 

Banyak sekali manfaat side hustle yang dapat diperoleh, antara lain menyalurkan passion, mengasah bakat dan menambah pengalaman di luar pekerjaan utama. Tidak heran, kegiatan side hustles telah menjadi tren di kalangan anak muda.

SIDE HUSTLE MENJADI HUSTLE CULTURE

Merasa asyik dengan side hustle yang rutin dilakukan sesuai passion sangatlah lumrah, namun jika tidak berhati-hati dalam mengatur waktu, maka terjebak dalam hustle culture dapat terjadi.
Berawal dari melakukan side hustle, lama kelamaan side hustle dapat berkembang menjadi hustle culture. Apa itu hustle culture? Dalam bahasa Indonesia, kata “hustle” diartikan sebagai “dorongan semangat yang meluap dengan cepat”. Sedangkan hustle culture adalah budaya yang mendorong seseorang untuk bekerja tanpa henti kapan pun dan di mana pun. 

TANDA-TANDA SEORANG HUSTLERS

Siapapun yang menjalani hustle culture disebut dengan hustlers. Sepintas terdengar keren, ya? Tapi sebenarnya hustlers perlu diberi perhatian khusus karena gaya hidupnya mengkhawatirkan.

Hustlers selalu termotivasi untuk mencapai kesuksesan di usia muda. Dalam prosesnya, tak jarang mereka bekerja mati-matian hingga larut malam hingga mengabaikan waktu istirahat. 

Ciri-ciri hustlers antara lain:
1. Merasa bersalah apabila waktunya diisi dengan refreshing atau istirahat. 

2. Segala hal yang dikerjakan harus berhubungan dengan pekerjaan. 

3. Setiap saat selalu bekerja agar dapat sukses, sehingga seringkali tidak memiliki waktu untuk dapat cukup tidur, sekedar me time atau liburan.

4. Cenderung mengabaikan kesehatan karena merasa harus selalu memprioritaskan pekerjaan.

5. Tidak jarang hustlers merasa bangga bekerja sampai pagi, seperti saat menyelesaikan pekerjaan menumpuk yang mengakibatkan hanya tidur selama 4 jam.

HUSTLE CULTURE MEMANG TERLIHAT COOL, TETAPI..

Hustle Culture merupakan salah satu fenomena yang sudah dikenal sejak 1971 dan masih ada hingga tahun 2021, bahkan pada era digital semakin mengakar kuat. Kemudahan teknologi ternyata belum tentu membuat manusia bekerja semakin efektif, melainkan justru cenderung semakin overwork.

Hustle Culture saat ini telah berkembang menjadi sebuah gaya hidup dimana seseorang merasa bahwa dirinya harus terus bekerja keras dan hanya meluangkan sedikit waktu untuk  beristirahat, dengan begitu ia dapat menganggap dirinya sukses dan diapresiasi oleh lingkungan. Sebagian menyebut gaya hidup ini dengan sebutan “gila kerja” atau workaholic

Padahal tujuan profesional atau pekerjaan hanyalah salah satu aspek dalam kehidupan. Ada banyak aspek lain yang juga perlu menjadi prioritas untuk dijalankan sebaik mungkin. Jika hanya memikirkan pekerjaan, maka mudah terjadi burnout.

Designer at work in office. Man drawing in note pad

ACTUALLY, HUSTLE CULTURE IS SO OUT OF DATE: NOT COOL AT ALL

Hustlers berpendapat bahwa mereka adalah kumpulan orang produktif. Padahal, keduanya jelas berbeda. Produktivitas diartikan sebagai cara menghasilkan output yang berkualitas dalam waktu singkat, sedangkan hustlers berusaha bekerja dalam durasi yang panjang, tanpa memperhatikan kualitas output yang berhasil diraih. 

Pada era analog mungkin budaya bekerja keras bagai kuda masih relevan. Berkendara dengan kuda di sebagian tempat sepertinya juga masih umum dilakukan pada era itu. Belum tersedianya teknologi canggih yang membantu pekerjaan menjadi lebih efisien tentu mengharuskan orang untuk bekerja keras sepanjang waktu. Namun, pada era digital seperti sekarang ini, dimana sudah sangat jarang orang yang berkendara dengan kuda, apakah hustle culture masih relevan?

Sayangnya, hustle culture masih sangat relevan hingga hari ini. Elon Musk, salah satu tokoh panutan millennials pernah mengatakan, “Tidak ada orang yang pernah mengubah dunia hanya dengan bekerja 40 jam seminggu,”. Kutipan ini telah menjadi semacam pembenaran bagi para hustlers untuk terus bekerja lebih sering lagi. Bagi mereka, tidak ada yang lebih penting lagi selain bekerja.

Tidak jarang pula hustlers yang ingin mati-matian bekerja saat masih muda, agar dapat mencapai kebebasan finansial sedini mungkin untuk akhirnya dapat menikmati hidup tanpa perlu bekerja. Kebanyakan hustlers beranggapan bahwa semakin lama menghabiskan waktu untuk bekerja maka akan semakin sukses dan dapat pensiun dini. Padahal kenyataannya, hanya sebagian orang yang merasakan sukses finansial.

Dan bahayanya nih, kalaupun berhasil mencapai kebebasan finansial, jangan-jangan para hustlers tidak bisa merasakan kebahagiaan hidup karena berada dalam kondisi sakit-sakitan akibat bekerja dengan ambisius dan tidak mengenal waktu.

APA SIH YANG BIKIN HUSTLE CULTURE ADA?

Hustle Culture tentunya tidak muncul dan dapat bertahan begitu saja. Gaya hidup kompetitif dan berorientasi hanya pada pencapaian materi telah menjadi penyebab bertahannya budaya gila kerja ini selama 40 dekade. Selain itu, apa lagi ya penyebabnya?

1. Perkembangan teknologi tidak menjadi alasan berkurangnya hustle culture, bahkan bisa menjadi penyebab bertahannya budaya ini.

Pada era digital dimana banyak perusahaan startup bermunculan, hustle culture telah menjadi standar untuk sukses di usia muda. Budaya perusahaan startup yang sangat dinamis dan jam kerja sangat sibuk mendorong tumbuhnya hustle culture ini pada millenial dan generasi Z. 

Smartphone yang dimiliki sebagian besar orang di dunia ini, tidak hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi, melainkan sudah menjadi perlengkapan bekerja. Bangun tidur, langsung cek email kerja dan layanan pesan teks. Di kantor, bekerja menggunakan gawai untuk presentasi dan menyelesaikan laporan atau berbagai tugas lain. Saat di rumah pun masih menyempatkan video call atau meeting online membahas pekerjaan. Terdengar familiar? Jika ya, maka hustle culture berada sangat dekat.

Budaya ini telah menjadi suatu hal yang dianggap normal karena tidak adanya batasan jelas antara kehidupan profesional dan pribadi. Work From Home (WFH) pada saat pandemi juga semakin menguatkan hustle culture. Dinamisnya perekonomian dunia akibat pandemi covid 19 juga menguatkan alasan untuk bekerja sepanjang waktu, agar tidak terkena dampak krisis ekonomi.

2. Konstruksi Sosial

Jabatan dan finansial telah menjadi tolok ukur kesuksesan hidup. Semakin melejit karir seseorang, otomatis hidupnya semakin mapan. Siapa yang berhasil mapan di usia muda, maka akan menjadi role model bagi lingkungan sekitarnya.

Lingkungan seperti ini akan mendukung hustle culture dengan memberikan pemakluman dan apresiasi bagi hustlers yang mendedikasikan hidupnya untuk pekerjaan. Orang yang memprioritaskan pekerjaan dianggap bertanggung jawab dan produktif, serta disematkan label sukses.

Apakah benar demikian? Banyak orang ingin sukses dan produktif, tapi sebenarnya menjadi tidak memikirkan kesehatan fisik dan mental. Padahal jika sakit, tentunya tidak dapat bekerja dengan baik dan tidak mampu produktif.

DAMPAK HUSTLE CULTURE

Perkembangan dunia kedokteran dan ilmu kesehatan jiwa telah melakukan berbagai penelitian mengenai hustle culture. Dilansir dari situs halodoc, hustle culture ternyata meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental. Beberapa masalah yang sering dialami adalah gejala depresi, kecemasan, hingga pikiran untuk bunuh diri. 

Dengan memaksa diri untuk bekerja, hustle culture menempatkan tubuh dalam kondisi fight or flight. Kondisi terus-menerus seperti ini melepaskan hormon stres (kortisol) dalam jumlah tinggi dan dalam periode yang lama. 

Untuk menormalkan kadar kortisol yang meningkat, tubuh harus memasuki keadaan istirahat. Namun, hustle culture tidak memberikan waktu yang cukup untuk istirahat, sehingga kelelahan mental tidak bisa dihindari. 

Menurut penelitian pada 2018 yang dipublikasikan di Current Cardiology Reports, mengambil sampel subjek dari Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan Cina, mereka yang bekerja lebih dari 50 jam per minggu ditemukan memiliki peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular, seperti infark miokard (serangan jantung) dan penyakit jantung koroner.

Sementara penduduk Jepang yang bekerja 80 hingga 99 jam per minggu memiliki risiko lebih besar terkena depresi, yang mengarah pada perilaku tidak sehat seperti merokok, mengonsumsi alkohol, dan tidak aktif secara fisik.

Di Indonesia sendiri, 1 dari 3 pekerja mengalami gangguan kesehatan mental akibat jam kerja berlebih. Budaya hustle culture juga cenderung memaksa seseorang agar dapat menyelesaikan berbagai hal dalam satu waktu alias multitasking. Multitasking dalam jangka panjang menyebabkan orang menjadi kurang fokus terhadap kualitas pekerjaannya dan tentunya ini menurunkan tingkat kepuasan terhadap hasil pekerjaan yang rentan memicu stres.

BILL GATES, SANG PENGGILA KERJA YANG SUDAH BERUBAH

Bill Gates merupakan salah satu orang terkaya pendiri Microsoft yang pernah identik dengan hustle culture. Ia sangat gila kerja, bahkan pernah bekerja 16 jam sehari selama 5 tahun. Bagaimana Bill Gates dapat mengatasi kebiasaan ‘gila kerja’ yang sudah dijalani selama bertahun-tahun?

Sebelumnya, Bill Gates merupakan orang yang sulit mendelegasikan pekerjaannya karena ia tidak mudah percaya pada orang lain. Ia melakukan hampir semua pekerjaan seorang diri, sampai akhirnya ia sadar bahwa itu adalah kebiasaan yang buruk. Saat ini ia lebih memprioritaskan untuk dapat mendelegasikan pekerjaannya.

“Aku dulu bekerja sepanjang malam di kantor, namun belakangan aku suka tidur. Aku suka tidur selama 7 jam setiap malam karena itulah yang kuperlukan agar pikiran tetap tajam dan bersemangat,” ujar Bill Gates.

Ia menilai sangat penting tidur yang cukup untuk menjaga kesehatan, bahkan menyarankan untuk tidur siang sebentar sebelum jam 15.00. “Hal itu akan meningkatkan kreativitas dan kesehatan jantung dan juga memperpanjang umur,”

Saat ini Bill Gates lebih memilih gaya hidup seimbang dan tidak berorientasi materi. Bahkan, ia memiliki kehidupan sederhana dan saat ini memilih berfokus pada kegiatannya di yayasan kemanusiaan. 

INGIN SUKSES? JALANI POLA HIDUP SEIMBANG

Mewujudkan kehidupan yang sukses dan mapan tidak perlu mengabaikan pola hidup sehat. Banyak tokoh yang dianggap sukses dan mereka tetap menjalani pola hidup yang seimbang antara waktu bekerja dengan beristirahat.

Pendiri dan CEO Amazon Jeff Bezos mengatakan, tidur 8 jam sehari membantunya mengambil keputusan. “Tidur 8 jam sehari menciptakan perubahan yang besar bagi saya dan saya berusaha keras untuk membuatnya sebagai prioritas,” ungkap salah satu orang terkaya di dunia tersebut.

Pendiri Alibaba, Jack Ma mengaku tidur adalah kunci bagi dirinya untuk menangani stres dan memecahkan masalah. “Jika saya tidak cukup tidur, masalahnya akan tetap di sana. Jika saya tidur, saya memiliki kesempatan lebih baik untuk memecahkannya,” ungkap Jack Ma.

Selain memiliki waktu tidur yang cukup, menyediakan waktu yang memadai untuk bersantai dan bersosialisasi dengan keluarga juga diperlukan untuk mengatasi hustle culture. Menjalani gaya hidup gila kerja ternyata tidak menjamin kesuksesan. Justru dengan menjalani pola hidup yang seimbang antara istirahat dan bekerja, maka kesuksesan akan lebih mudah dicapai.

Jadi, masih keukeuh mencapai kesuksesan dengan mengikuti hustle culture? Bill Gates, Jack Ma dan Jeff Bezos saja sudah meninggalkan hustle culture, lho. Dan mereka semakin sukses serta memiliki kehidupan yang mapan. Yuk, tinggalkan pola hustle culture dan mulai rutin jalani pola hidup seimbang demi mencapai kesuksesan sejati! Sayangi dirimu dan keluargamu. 🙂

TAGS
Tidak ada tags.